NAMA PENULIS
Baiq Lily Handayani, S.Sos, M.Sosio;
Prof. Dr. Dominikus Rato, SH. M.Si;
Ir. Marga Mandala, Ph.D;
Prof. Dr. Indarto S.TP, DEA;
Prof. Dr. Hary Yuswadi, MA;
Khairul Anam, ST., MT., Ph. D
PENERBIT
PENTA SARI MEDIA
JUMLAH HALAMAN
X + 145
ISBN
(dalam proses)
TAHUN TERBIT
2022
SINOPSIS
Buku ini berisi tentang konflik lahan di Curahnongko, Jember, ditinjau secara sosiologis. Lahan sengketa mulanya disebut lahan kemitraan. Hal ini karena pada Juni 1998, beberapa orang perwakilan pemuda desa menemui pihak PTPN XII Kebun Kalisanen Afdeling Wonowiri Desa Curahnongko Kecamatan Tempurejo untuk menawarkan kerjasama kemitraan pada lahan milik PTPN XII yang sedang dilakukan peremajaan tanaman karet.
Namun, kelompok yang dipimpin oleh Kyai Musri, dkk yang tergabung dalam SIPPER merebut lahan tersebut. Mereka melakukan pengambilalihan atas isu reklaiming lahan yang pernah dikelola nenek moyang seluas 332 Ha pada masa pendudukan Jepang.
Konflik lahan sengketa bermula sejak tanah erfpacht dinasionalisasi berdasarkan UU No. 86/1958 Jo PP No. 19/1959. Pada 3 Desember 1957 menjadi tanah negara yang dikelola oleh Perkebunan XXVI. Dengan terbitnya UU Nasionalisasi, semua perusahaan yang dikuasai Belanda menjadi aset pemerintah, dengan syarat memberi ganti rugi kepada Hindia Belanda. Warga yang telah menempati lokasi tersebut sejak 1942 diberikan hak untuk mengajukan permohonan atas kepemilikan lahan. Pihak PTPN menertibkan pemukiman penduduk pada 1957, di mana masyarakat ada yang mendapatkan ganti rugi berupa uang, pekerjaan, dan tempat tinggal. Pada 1966 bersamaan dengan bergejolaknya PKI, pihak PTPN melakukan penertiban lahan.
Dalam perkembangannya, sifat konflik lahan di Curahnongko mengalami pergeseran jenis konflik. Konflik berkembang dari konflik vertikal antara masyarakat dengan PTPN XII, menjadi konflik horisontal di internal masyarakat dan tokoh masyarakat Curahnongko. Muncul beberapa kelompok perjuangan yang terus mengalami dinamika dalam interaksinya dengan masyarakat. Kelompok yang dianggap tidak berhasil memperjuangkan kepentingan masyarakat, akan diragukan, bahkan didelegitimasi. Terjadi pergeseran ideologi perjuangan, dari ideologi mengambil kembali lahan yang telah dimiliki oleh nenek moyang sejak 1942, menjadi pembagian lahan secara merata kepada semua pihak terutama yang mau berjuang, meskipun ia bukan merupakan keturunan dari pemilik awal atau bahkan orang luar sekalipun.
Buku ini kaya akan informasi mengenai konflik lahan di Curahnongko, Jember. Buku ini diharapkan bisa memberi sumbangsih pemikiran terhadap peristiwa yang terjadi di masyarakat. Sehingga bisa tercipta kebaikan bagi semua, dan memberikan manfaat bagi pembaca sekalian. (*)